Ilmu Kelautan - Pengaruh Oseanografi Terhadap Alat Tangkap Pasif

Kondisi oseanografi perairan Utara Irian Jaya pada musim timur dilihat dari beberapa parameter fisika (suhu, salinitas, dan densitas) menunjukkan adanya pengaruh aliran massa air yang dominan dari Samudra Pasifik bagian Selatan.  Hal itu ditandai dari karakter massa air yang relatif lebih hangat, lebih asin dan densitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan lain di Indonesia. Suhu  permukaan berkisar antara 28.42–29.96 oC dengan rata-rata 29.02 oC.  Suhu maksimum permukaan mencapai 29.96 oC sedangkan suhu minimum pada kedalaman 1000 meter mencapai  4.31 oC. Rata-rata suhu, salinitas dan densitas pada beberapa kedalaman standar.
Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai.  Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan.  Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling.
Sejauh ini telah diketahui eratnya kaitan antara konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer dengan kondisi oseanografi. Di antara beberapa parameter fisika-kimia tersebut ada yang belum diketahui secara pasti parameter oseanografi mana yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap distribusi klorofil-a dan ikan pelagis. Khususnya pada lokasi dan waktu tertentu, kajian yang melihat secara simultan beberapa parameter oseanografi dan kaitannya dengan klorofil-a dan ikan pelagis masih sangat terbatas.
Kenyataan bahwa perairan yang memiliki karakteristik massa air (kondisi oseanografis) yang berbeda cenderung memiliki parameter biologi yang berbeda pula, menguatkan dugaan bahwa klorofil-a dan ikan pelagis (parameter biologi) terkait dengan parameter fisika-kimia perairan.  Masalah uatama yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana menjelaskan saling keterkaitan parameter-parameter oseanografi dan parameter mana yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap sebaran klorofil-a dan ikan pelagis. Bertolak dari masalah tersebut maka diduga sementara (hipotesis) bahwa : (1) Sebaran klorofil-a dan ikan pelagis sangat erat kaitannya dengan kedalaman lapisan tercampur dan termoklin dan pengaruh parameter oseanografi terhadap klorofil-a berbeda berdasarkan kedalaman: (2) Parameter kimia (nutrien) pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan parameter lainnya terhadap kelimpahan fitoplankaton dan klorofil-a.
Untuk menguji hipotesis tersebut maka akan digunakan data yang meliputi parameter fisika, kimia dan biologi hasil survey yang dilakukan oleh KAL Baruna Jaya I. Lokasi survey dan letak stasiun ditunjukkan dalam Gambar .  Data tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan sejumlah perangkat lunak (MS Exel, Surfer 6.0, SPSS Release 10.0.5, dan Stat Itcf) untuk mengetahui karakter massa air, gambaran sebaran dan hubungan antar parameter. Untuk mengetahui keterkaitan antar beberapa parameter dan mengidentifikasi parameter yang signifikan mempengaruhi sebaran klorofil-a dan ikan pelagis, maka dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis multivariet “Diskriminan Analisis” (Legendre dan  Legendre,  1983; Johnson dan Wichern, 1988; dan Bengen, 1999)  Untuk melihat hubungan linier antar dua parameter dilakukan regresi linier sederhana (Kleinbaum et al., 1988; dan Zar,  1984).
Di permukaan terdapat lapisan tipis dengan suhu relatif homogen yang disebut dengan lapisan tercampur.  Di bawah lapisan tercampur merupakan lapisan termoklin dimana terjadi penurunan suhu yang sangat tajam dengan meningkatnya kedalaman. Ketebalan lapisan ini relatif lebih tinggi di sebelah barat dibandingkan dengan di sebelah timur. Tebal lapisan tercampur yang juga nerupakan kedalaman batas atas lapisan termoklin. Kedalaman lapisan ini berkisar antara 210-370 meter dengan rata -rata ketebalan mencapai 253 meter.
Salinitas perairan yang terukur dari permukaan hingga kedalaman 1000 meter berkisar antara 33.030–35.958 ‰ dengan rata-rata 34.633 ‰. Lapisan salinitas maksimum berada pada kedalaman antara 100 sampai 200 meter. Densitas (sigma-t) air laut tercatat berkisar antara 20.62 – 27.43 dengan rata-rata 26.17. Sebagai fungsi dari suhu dan salinitas, maka nilai sigma-t ini sangat ditentukan oleh kedua parameter tersebut yaitu suhu dan salinitas.
Pola sebaran mendata suhu dan salinitas yang cenderung semakin menurun ke arah barat terjadi akibat adanya percampuran massa air Samudra Pasifik Selatan yang lebih salin dan lebih hangat dengan massa air perairan Indonesia yang relatif lebih dingin dan lebih tawar.  Percampuran ini terutama disebabkan oleh adanya arus permukaan karena penguruh musson.  Pada musim timur arus dari Samudra Pasifik relatif kuat mengalir masuk ke perairan Indonesia.  Akibatnya adalah terbentuknya gradasi penurunan suhu dan salinitas yang sangat menyolok dari timur ke barat dengan karakter yang lebih asin dan hangat dibandingkan dengan massa air lainnya yang mendapat suplai massa air dari Samudra Pasifik Utara seperti di Halmahera dan Selat Makassar.

Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Penangkapan Ikan

Minimnya perusahaan perikanan yang mampu melengkapi armada penangkapannya dengan peralatan berteknologi maju, membuat nelayan pada umumnya hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman dalam mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikannya. Berbeda dengan negara Thailand, Filipina dan Malaysia yang memiliki  perangkat acoustic (echosounder) terpasang pada armada penangkapannya, didukung informasi citra remote sensing (penginderaan jauh satelit), sehingga dapat mengetahui dengan jelas dan pasti posisi (koordinat) lintang-bujur kawanan ikan secara up to date.
Padahal, untuk mengatasi masalah tersebut peneliti dan ahli teknologi bidang kelautan dan perikanan dengan dukungan pemerintah hanya perlu membangun satu instalasi bank data yang bekerja men-download citra darat satelit yang berisi: data klorofil dan data parameter oseanografi (suhu, salinitas, arus, gelombang dan lain-Iain) di perairan Indonesia, kemudian diolah menjadi peta estimasi (pendugaan) fishing ground (daerah penangkapan ikan) yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut langsung di-relay ke armada penangkapan.
Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Penangkapan IkanUntuk keakuratan estimasi fishing ground, yang perlu dilakukan mengkolaborasikan data acoustic, citra satelit remote sensing dan data oseanograifi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Langkah dasarnya dengan metode remote sensing satelit, secara ex situ   kita harus menemukan perairan yang memiliki klorofil (plankton).
2. Kemudian, menganalisis hubungannya dengan data oseanografi (suhu, salinitas dan arus) yang juga didapatkan dari satelit dan instrumen oseanografi yaitu argo float.
3. Kemudian hasil analisis data dari dua instrumen tersebut (satelit dan argo float) dibuat peta estimasi fishing ground yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut direlay ke armada penangkapan. Berbekal peta estimasi tersebut armada segera menuju lokasi yang telah diestimasi, lalu mengkolaborasikan peta tersebut dengan data acoustic yang didapatkan dengan echosounder secara in situ (langsung) pada perairan, kemudian dilakukan pemanfaatan (penangkapan) ikan.
Parameter oseanografi sangat penting dianalisis untuk penentuan fishing ground. Nontji (1987) menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1988). Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan (Hela dan Laevastu, 1970).
Salinitas adalah kadar garam seluruh zat yang larut dalam 1.000 gram air laut, dengan asumsi bahwa seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, semua brom dan lod diganti dengan khlor yang setara dan semua zat organik menga1ami oksidasi sempuma (Forch et al,1902 dalam Sverdrup et al, 1942). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.
Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, Lavastu dan Hayes (1981) menyatakan hubungan arus terhadap penyebaran ikan adalah arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan petagis dan spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan). Migrasi ikan-ikan dewasa disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku  ikan dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokan makanan, atau faktor lain yang membatasinya (suhu); arus mempengaruhi lingkungan alami ikan, maka secara tidak langsung mempengaruhi kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas distribusi geografisnya. Jadi, dengan mengetahui nilai suhu, salinitas dan arus pada perairan, akan dapat dianalisis fenomena yang merupakan daerah potensi ikan. Hydro Acoustic merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian. Sebagaimana diketahui bahwa kecepatan suara di air adalah 1.500 m/detik, sedangkan kecepatan suara di udara hanya 340 m/detik, sehingga teknologi ini sangat efektif untuk deteksi di bawah air.
Teknologi hydro-acoustic dengan perangkat echosounder paling tepat digunakan untuk pendugaan stok ikan pada suatu perairan, karena dapat memberikan informasi yang detail mengenai: kelimpahan ikan (fish abundance),  kepadatan (fish density), sebaran (fish distribution), posisi kedalaman renang, (swimming layers), ukuran dan panjang (size and length), orientasi dan kecepatan renang, serta variasi migrasi diumal-noktural ikan (Kompas, 1/11/2004).
Remote Sensing biasa juga disebut Sistem Penginderaan Jauh merupakan suatu teknologi yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi dan mengetahui karakteristik objek di permukaan bumi, baik daratan maupun permukaan laut dan perairan tanpa melakukan kontak langsung dengan objek yang diteliti tersebut (lillesand dan Kiefer, 1979). Ada dua tipe remote sensing yaitu pasif dan aktif, dengan metode ini dihasilkan citra satelit yang merupakan data dari klorofil, arus, suhu dan posisi koordinat pada permukaan perairan yang dideteksi. Data citra dari satelit tersebut diproses dan dianalisis, kemudian dikolaborasikan dengan data acoustic dan data dari instrumen argo float untuk estimasi fishing ground.
Secara umum prinsip kerja satelit-satelit ini adalah dengan memancarkan pulsa gelombang elektromagnetlk ke arah permukaan laut di bawahnya lalu menerima kembali pantulannya (remote sensing aktif). Waktu perjalanan gelombang elektromagnetik tersebut, dikonversi untuk mendapatkan jarak antara satelit dan muka laut. Sejumlah koreksi harus diterapkan terhadap data mentah, sebelum dapat diterapkan dalam bidang oseanografi.
Kondisi sumberdaya ikan Indonesia pada masa yang lalu tidak kita bicarakan dalam tulisan ini, yang pasti masa-masa kejayaan melimpahnya sumberdaya ikan di daerah/negara kita telah lewat. Lalu bagaimana keadaan sumberdaya itu sekarang ini. Dari data statistik pemanfaatan sumberdaya ikan nampak jelas terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di daerah yang padat nelayannya dan memiliki intensitas penangkapan yang tinggi seperti pantai utara jawa, selat malaka dan selatan sulawesi (termasuk disebagian sebesar wilayah perairan sultra) tetapi anehya income yang dihasilkan dari sektor ini (Perikanan Tangkap ) relatift kecil dan menjadi paradoks perikanan tangkap kita.
Produksi perikanan laut dalam dasawarsa terakhir mengalami peningkatan rata-rata 4,95 persen per tahun namun ini masih rendah dari yang diharapkan yaitu sekitar 6 persen per tahun. Salah satu faktor penyebabnya disinyalir adalah banyaknya kapal-kapal asing yang berseliweran(beroperasi) di perairan kita, kapal asing ini beroperasi tidak hanya di perairan ZEE tetapi juga di perairan nusantara menurut data ada sekitar 5000 kapal asing milik Thailand, Filipina, Taiwan, Korea dan RRC beroperasi diperairan kita, Berdasarkan asumsi yang dilansir FAO, kerugian negara akibat illegal fishing mencapai 30 trilyun rupiah pertahun. Dengan tingkat kerugian mencapai 25% dari total potensi perikanan yang kita miliki.
Potensi lestari (MSY/maximum suistanable yield) perairan kita ±6,4 juta ton per tahun sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/Total Allowable Catch/TAC) adalah sebesar 5,12 juta ton per tahun atau ±80% dari MSY . Menurut data tahun 2003 total hasil tangkapan ikan adalah 4,4 juta ton per tahun sehingga produksi masih terdapat peluang pengembangan ± 720.000 ribu ton per tahun ini terutama pada perairan-perairan seperti Laut Banda, Laut Arafuru (kecuali udang), Laut Maluku dan Laut Sulawesi. Apabila kita menganalisis data perikanan tangkap Indonesia ini maka kedepan kita tidak bisa lagi berharap hasil devisa sektor kelautan dan perikanan berasal dari perikanan tangkap hendaknya mulai sekarang harus ada usaha-usaha subtitusi kearah lain seperti misalnya budidaya laut (Marine Culture) dan lain sebagainya.
Daerah Pelabuhan Ratu dikenal sebagai basis utama perikanan tangkap di pantai Selatan Propinsi Jawa Barat. Keberadaan Pelabuhan Ratu yang terletak dan langsung berhadapan dengan Samudera Hindia sangat strategis bagi perkembangan perikanan dan kelautan. Hal ini mengingat potensi perikanan yang besar, khususnya perikanan pelagis baik yang merupakan sumberdaya alami perairan teluk pelabuhan ratu maupun sumberdaya ikan yang bermigrasi (ruaya diurnal dan nocturnal) dari dan ke perairan teluk pelabuhan ratu.

Pengembangan perikanan dan kelautan yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, dilaksanakan dengan langkah meningkatkan produksi dan produktifivas nelayan. Meningkatnya hasil tangkapan nelayan sangat ditentukan dengan karakteristik alat dan metode penangkapan, dalam hal ini dimensi, desain, sifat pengoperasian dan keahlian nelayan dalam mengoperasikan alat tangkat tersebut.
Unit penangkapan ikan yang dioperasikan oleh nelayan di Pelabuhan Ratu sangat beragam. Keberagaman alat tangkap tersebut sesuai dengan jenis ikan yang menjadi target penangkapan, daerah penangkapan dan teknologi penangkapan ikan. Alat tangkap ikan yang terdapat di Pelabuhan Ratu secara umum masih bersifat tradisional. Hal ini terlihat dari teknologi dalam metode penangkapannya dan karakteristik (dimensi dan disain) alat tangkap tersebut. Alat tangkat tersebut antara lain jaring insang (gill net), jaring angkat (lit net), pukat kantong (seine net) dan pancing (hand line). Unit penangkapan ikan utama di pelabuhan ratu adalah pukat payang, jaring insang, bagan (bagan apung/raft lift net, bagan perahu/boat lift net dan bagan tetap/stationery lift net), pancing rawai, jaring rampus dan pukat dogol. Selain itu terdapat juga unit penangkapan jaring kopet, pukat pantai dan pukat cincin.
Perkembangan unit penangkapan di atas, yang mengalami peningkatan sangat pesat adalah alat tangkap bagan dan jenis pancing. Unit penangkapan ikan jaring angkat merupakan jenis alat tangkap yang secara komersial penting dan sangat umum di Indonesia. Salah satu jenis alat tangkap dalam jaring angkat yang penting adalah bagan (Kawamura, 1981 dalam Ta`alidin 2000). Bagan apung yang terdapat di Pelabuhan Ratu termasuk dalam klasifikasi portable lift nets (jaring angkat yang dapat dipindah–pindahkan).
Secara sederhana dalam metode pengoperasian alat tangkap bagan termasuk tradisional, dengan penggunaan lampu petromaks sebagai alat bantu yang bertujuan mengumpulkan ikan atau biota laut lainnya yang bersifat fototaxis positif dan karena faktor food and feeding habits dari biota tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Flores dan Shibata (1988), unit penangkapan ikan yang digolongan jenis jaring angkat (lift net) ini di Indonesia masih bersifat tradisional dan merupakan kegiatan perikanan skala kecil (Small Scale Fisheries).
Teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya tuna disesuaikan dengan sifat dan tingkah laku ikan sasaran. Tuna merupakan ikan perenang cepat yang bergerombol. Oleh karena itu, alat penangkap ikan yang digunakan haruslah yang sesuai dengan perilaku ikan tersebut. Ada lima macam alat penangkap tuna, yaitu osena, huhate, handline. pukat cincin, dan jaring insang.

Rawai tuna (tuna longline)
Rawai tuna (tuna longline)
Rawai tuna atau tuna longline adalah alat penangkap tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna longliner biasanya mengoperasikan 1.000 - 2.000 mata pancing untuk sekali turun.
Rawai tuna umumnya dioperasikan di laut lepas atau mencapai perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arah arus atau sering disebut drifting. Drifting berlangsung selama kurang lebih empat jam. Selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal.
Umpan longline harus bersifat atraktif. misalnya sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan. Jenis umpan yang digunakan umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), layang (Decopterus sp.), kembung (Rastrelliger sp.), dan bandeng (Chanos chanos).

Huhate (pole and line)Huhate (pole and line)
Huhate atau pole and line khusus dipakai untuk menangkap cakalang. Tak heran jika alat ini sering disebut "pancing cakalang". Huhate dioperasikan sepanjang siang hari pada saat terdapat gerombolan ikan di sekitar kapal. Alat tangkap ini bersifat aktif. Kapal akan mengejar gerombolan ikan. Setelah gerombolan ikan berada di sekitar kapal, lalu diadakan pemancingan.Terdapat beberapa keunikan dari alat tangkap huhate.
 Bentuk mata pancing huhate tidak berkait seperti lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan rafia yang halus agar tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal huhate mempunyai konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi lebih panjang, sehingga dapat dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya berukuran kecil. Di dinding bagian lambung kapal, beberapa cm di bawah dek, terdapat sprayer dan di dek terdapat beberapa tempat ikan umpan hidup. Sprayer adalah alat penyemprot air.
Pemancingan dilakukan serempak oleh seluruh pemancing. Pemancing duduk di sekeliling kapal dengan pembagian kelompok berdasarkan keterampilan memancing. Pemancing I adalah pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan sebesar 50-60 ekor per menit. Pemaneing I diberi posisi di bagian haluan kapal, dimaksudkan agar lebih banyak ikan tertangkap. Pemancing II diberi posisi di bagian lambung kiri dan kanan kapal. Sedangkan pemancing III berposisi di bagian buritan, umumnya adalah orang-orang yang baru belajar memancing dan pemancing berusia tua yang tenaganya sudah mulai berkurang atau sudah lamban. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal.
Umpan yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri (Stolephorus spp).

Pancing ulur (handline)
Pancing ulur (handline)
Handline atau pancing ulur dioperasikan pada siang hari. Konstruksi pancing ulur sangat sederhana. Pada satu tali pancing utama dirangkaikan 2-10 mata pancing secara vertikal. Pengoperasian alat ini dibantu menggunakan rumpon sebagai alat pengumpul ikan. Pada saat pemancingan, satu rumpon dikelilingi oleh lima unit kapal, masing-masing kapal berisi 3-5 orang pemancing. Umpan yang digunakan adalah ikan segar yang dipotong-potong. Hasil tangkapan utama pancing ulur adalah tuna (Thunnus spp.).


Pukat cincin (purse seine)Pukat cincin (purse seine)
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Dewasa ini tidak terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna menggunakan pukat cincin, kalau pun ada hanya berskala kecil.
Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk.
Pukat cincin dapat dioperasikan siang atau malam hari. Pengoperasian pada siang hari sering menggunakan rumpon atau payaos sebagai alat bantu pengumpul ikan. Sedangkan alat bantu pengumpul yang sering digunakan di malam hari adalah lampu, umumnya menggunakan lampu petromaks. Gafa et al. (1987) mengemukakan bahwa payaos selain berfungsi sebagai alat pengumpul ikan juga berfungsi sebagai penghambat pergerakan atau ruaya ikan, sehingga ikan akan berada lebih lama di sekitar payaos. Uktolseja (1987) menyatakan bahwa payaos dapat menjaga atau membantu cakalang tetap berada d lokasi pemasangannya selama 340 hari.

Jaring insang (gillnet)
Jaring insang merupakan jaring berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama di sepanjang jaring. Dinamakan jaring insang karena berdasarkar cara tertangkapnya, ikan terjerat di bagian insangnya pada mata jaring. Ukuran ikan yang tertangkap relatif seragam.
Pengoperasian jaring insang dilakukan secara pasif. Setelah diturunkan ke perairan, kapal dan alat dibiarkan drifting, umumnya berlangsung selama 2-3 jam. Selanjutnya dilakukan pengangkat jaring sambil melepaskan ikan hasil tangkapan ke palka.



Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment