Siasat Utang Proyek Terumbu Karang
Banyak yang tidak menyadari bahwa proyek Coral Triangle Initiative (CTI) berpotensi menambah utang baru. Pada akhir 2007, pada Senior Official Meeting pertama, CTI memperoleh komitmen awal hibah sebesar 25 juta dollar AS dari Global Environment Facilities (GEF). Pemerintah AS pun menjanjikan donasi awal sebesar 4,3 juta dollar AS.
Banyak yang tidak menyadari bahwa proyek Coral Triangle Initiative (CTI) berpotensi menambah utang baru. Pada akhir 2007, pada Senior Official Meeting pertama, CTI memperoleh komitmen awal hibah sebesar 25 juta dollar AS dari Global Environment Facilities (GEF). Pemerintah AS pun menjanjikan donasi awal sebesar 4,3 juta dollar AS.
Australia tak mau ketinggalan dengan janji 1,43 juta dollar AS. Dana kian menggunung setelah Asian Development Bank (ADB) akan mengucurkan hibah awal 2 juta dollar AS.
Februari 2008, GEF mengeluarkan Project Identification Form CTI, dengan mengumumkan jumlah pendanaan bersama Project CTI lebih dari 471 juta dollar AS. GEF secara khusus memberikan hibah bersyarat 72,545 juta dollar AS terbatas pada agenda biodiversity, international waters, dan climate change.
Perinciannya, di luar GEF, dana bakal mengucur dari ADB (233,550 juta dollar AS), agensi di bawah GEF lainnya (75,7 juta dollar AS), pemerintah (11,915 juta dollar AS), partner bilateral (26,8 juta dollar AS), partner multilateral (1,811 juta dollar AS), partner NGO (41,2 juta dollar AS), dan sumber lainnya (7,685 dollar AS).
“Ini memang belum tentu cair karena masih berbentuk komitmen. Hampir 50 persen dana bersumber dari ADB. Kontribusi ADB tentunya bisa berupa hibah maupun utang luar negeri. Yang jelas, berapa pun yang cair untuk Indonesia, utang akan menambah beban rakyat,” tutur Kepala Divisi Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) Suhana.
Kucuran dana dari AS dan Australia pun patut diwaspadai karena disinyalir sebagai upaya green washing (pembersihan diri).
Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas asal kedua negara itu diduga berkontribusi dalam pencemaran lingkungan. Di sisi lain, ketidakpatuhan Washington untuk menandatangani Protokol Kyoto cukup mengindikasi bahwa agenda sesungguhnya bukanlah untuk terlibat dalam mengatasi masalah perubahan iklim, tapi hanya untuk menjamin keberlangsungan kegiatan industrinya di kawasan CT-6.
Proyek CTI bisa dipakai alasan AS yang menyumbang 36 persen gas rumah kaca (GRK) untuk terus menolak menandatangani Protokol Kyoto, yang berdampak sulitnya mendorong penurunan emisi karbon dunia.
Diduga AS akan menjustifikasi proyek CTI sebagai sumbangannya dalam mengatasi perubahan iklim melalui laut. Maka, jangan heran jika Manado Ocean Declaration (MOD) tak disepakati menjadi dokumen yang berkekuatan hukum dan mengikat atau legally binding.
Apalagi, sebelum perhelatan WOC, ada sinyalemen bahwa Indonesia akan menggunakan WOC untuk mengail dana lewat perdagangan karbon.
Ini tersirat dari pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi yang mengklaim bahwa laut dan pantai Indonesia mampu menyerap karbon 66,9 juta ton per tahun dan karbondioksida (CO2) 245,6 juta per tahun.
Pernyataan itu terlalu dini karena hingga kini kelompok ilmuwan yang belum bisa memastikan apakah lautan dan sumber dayanya sebagai penyerap atau pelepas karbon. Semua hasil penelitian memosisikan laut sebagai pelepas karbon (carbon sources) ke atmosfer, kecuali Laut Utara, Atlantik Utara, dan amudera bagian selatan.