Hukum Laut
Perjanjian
internasional yang telah d ratifikasi
Perjanjian
Internasional di bidang kelautan yang sejak dulu telah dirundingkan, kini
berkembang dengan pesat. Puncak dari berbagai perundingan mengenai masalah
kelautan adalah diadakannya Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai
Hukum Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea)pada
tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah ditandatangani
suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di
bidang kelautan. Perjanjian internasional ini dikenal dengan nama Konvensi PBB
mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS).Pemerintah Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam
berbagai perundingan mengenai terbentuknya berbagai perjanjian internasional di
bidang kelautan khususnya lingkungan laut(environmental of the sea). Dengan
menandatangani hasil berbagai konperensi hukum laut, maka diperlukan suatu
langkah untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Salah satu cara adalah
meratifikasi perjanjian internasional tersebut agar berlaku menjadi hukum
nasional. Studi ini memberikan gambaran mengenai hukum perjanjian
lingkungan laut (environmental law of the sea treaties). Selain
itu studi ini juga menggambarkan bahwa cukup banyak perjanjian internasional
(baik yang bersifat publik maupun perdata) yang telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia dan alasan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasinya. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Penelitian ini
bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah berbagai perjanjian internasional di bidang kelautan diratifikasi, masih
diperlukan beberapa langkah serta tindak lanjut untuk menerapkannya.
Implementasi perjanjian internasional ini antara lain dikeluarkan berbagai
peraturan pelaksanaan yang bersifat umum maupun teknis. Dalam penelitian ini
telah menemukan ada langkah tindak lanjutnya dengan dikeluarkan beberapa
peraturan pelaksana baik dalam bentuk undang-undang hingga keputusan
menteri.
Latar Belakang Permasalahan
Hingga saat ini, cukup
banyak perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah berhasil
disepakati. (UNEP,1993;Ball&Stuart,1991;Pramudianto,1995). Perkembangan
perjanjian internasional yang lahir di abad 20 ini, nampaknya berkaitan erat
dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi tinggi dan bahan berbahaya yang
menimbulkan dampak yang luas bagi masalah sumberdaya di laut. Karena itu
perjanjian internasional di bidang kelautan kini lebih bersifat multilateral
dan menerapkannya secara global dengan penekanan pada persoalan kepemilikan
bersama yang antara lain mengarah pada prinsipCommon Heritage of Mankinds. (Abdurrasyid,
1991; Agoes,1988;Danusaputro,1982)
Hukum internasional
mengenal beberapa cara bagi suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian internasional yang salah satu diantaranya adalah ratifikasi
(Kusumaatmadja,1976;Parthiana,1990;Likadja,1988;Situni,1989). Dalam hal ini
suatu instrumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan
disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam suatu perundingan umumnya
masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat
dilakukan melalui lembaga ratifikasi.
(Suryono,1984;Suwardi,1991;Kusumohamidjojo,1986) Setelah dilakukan tindakan
ratifikasi, naskah perjanjian internasional tersebut dapat dikirim kembali ke
tempat penyimpanan (depository) naskah perjanjian sebagai
bukti keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut.
Namun hal yang perlu dicatat bahwa tidak seluruh perjanjian internasional
membutuhkan ratifikasi untuk dapat diberlakukan. Karena itu ada beberapa ahli
menyatakan bahwa ratifikasi hanya sekedar memberikan pernyataan formal
keterikatan terhadap suatu perjanjian internasional.
(Anwar,1991;Suraputra,1991;Kantaatmadja;1991;Agoes,1988;Suryono,1984)
Konsep yang berlaku
umum di dalam hukum internasional ini juga diterapkan oleh Pemerintah
Indonesia. Sesudah menandatangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut,
Pemerintah Indonesia kemudian melakukan tindakan ratifikasi baik melalui
Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum nasional hasil
ratifikasi yang dikeluarkan oleh Presiden berbentuk Keputusan Presiden
(Keppres). Sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan
dalam bentuk undang-undang (UU). Hingga sekarang ketentuan hukum mengenai
ratifikasi masih berpedoman pada Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 dan Surat
Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2826/HK/60 tanggal 22
Oktober 1960 perihal Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain.
Dalam
prakteknya, ratifikasi yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap perjanjian
internasional yang berkaitan dengan bidang kelautan khususnya lingkungan laut
kebanyakan berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan dalam bentuk
Undang-undang (UU) masih sangat sedikit. Hal ini berhubungan dengan klasifikasi
perjanjian internasional itu sendiri yang pada umumnya menganggap perjanjian
internasional bidang lingkungan laut kurang memiliki dampak politik yang
penting. Walaupun demikian ada beberapa perjanjian internasional yang berkaitan
dengan bidang lingkungan laut yang memiliki dampak politik sangat penting dan
mempengaruhi masa depan Indonesia telah berhasil disetujui oleh DPR melalui
bentuk undang-undang. Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 17 tahun 1985
yang mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982.
Identifikasi Masalah
Permasalahan yang
timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap berbagai perjanjian internasional
dilihat dari pandangan yuridis selama ini karena ketentuan hukum nasional belum
memadai. Dasar hukum mengenai tata cara meratifikasi yang selama ini ada tidak memberikan
prosedur yang jelas dan baku. Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 tidak
menyebutkan dengan tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan
prosedural mengenai tata cara meratifikasi suatu perjanjian internasional.
Surat Presiden No 2826/Hk/60 bahkan berada di luar tata urutan
perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR No. XX/1966 mengenai Sumber Tertib
Hukum. Kemudian timbul masalah lagi, yaitu bagaimana menentukan atau
mengkriteriakan jenis perjanjian internasional yang penting dan perjanjian
internasional yang kurang penting. Permasalahan ini akan menimbulkan akibat
pada perjanjian internasional di bidang lingkungan laut yang dalam meratifikasi
ternyata menghasilkan dua produk hukum nasional yaitu berbentuk Keputusan
Presiden (Keppres) dan berbentuk Undang-undang (UU). Hal ini menimbulkan suatu
akibat bahwa ternyata perjanjian di bidang lingkungan laut ada yang
dikategorikan sangat penting dan ada yang kurang penting. Berbagai
perjanjian internasional di bidang lingkungan laut telah berhasil dibentuk.
Namun hal ini membutuhkan keterikatan yang pasti yaitu dapat berupa ratifikasi,
penerimaan atau persetujuan. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi menjadi hal
yang penting karena akan mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia dan dapat
memberikan wawasan baru bagi ketentuan hukum nasional.
Maksud dan Tujuan
Maksud
penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana produk hukum internasional
di bidang kelautan khususnya dalam perjanjian internasional bidang hukum
lingkungan laut telah diimplementasikan ke dalam hukum nasional.
Sedangkan tujuan penelitian adalah :
1.Mengetahui informasi berbagai perjanjian internasional bidang kelautan yang
telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
2.Mengetahui sejauhmana tindak lanjut pelaksanaan atas ratifikasi perjanjian internasional ini
3.Mengetahui secara mendasar mengenai masalah ratifikasi.
2.Mengetahui sejauhmana tindak lanjut pelaksanaan atas ratifikasi perjanjian internasional ini
3.Mengetahui secara mendasar mengenai masalah ratifikasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini
diharapkan akan bermanfaat dalam hal :
1.Memberikan informasi dasar khususnya yang menyangkut peraturan internasional di bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia
2.Menambah studi-studi di bidang kelautan khususnya yang menyangkut peraturan.
3.Meningkatkan desiminasi dan informasi hukum laut Indonesia
4.Memberikan bahan masukan untuk pengambil keputusan dalam menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi
1.Memberikan informasi dasar khususnya yang menyangkut peraturan internasional di bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia
2.Menambah studi-studi di bidang kelautan khususnya yang menyangkut peraturan.
3.Meningkatkan desiminasi dan informasi hukum laut Indonesia
4.Memberikan bahan masukan untuk pengambil keputusan dalam menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi
Lingkup Studi Penelitian
Penelitian ini
dibatasi pada permasalahan hukum lingkungan laut, khususnya ratifikasi atas
perjanjian internasional.
1.Metodologi
Metode yang digunakan
dalam studi ini adalah penelitian deskriptif dengan cara menginventarisasi
berbagai ketentuan atau peraturan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Selain itu dilakukan juga studi pustaka untuk mencari berbagai informasi
mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi.
2. Penentuan
Sampel
Dari seluruh peraturan
yang menyangkut perjanjian internasional yang telah ditandatangani atau
diratifikasi, sampel yang diambil hanya pada perjanjian internasional yang khususnya
menyangkut atau berkaitan dengan persoalan lingkungan laut yang telah
diratifikasi. Setelah itu dilakukan penelusuran peraturan hukum nasional yang
dikeluarkan Pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan ratifikasi ini. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui apakah setiap peraturan nasional yang berkaitan
dengan pokok bahasan yang ada dalam perjanjian internasional selalu disebutkan
hasil ratifikasinya.
3.Hipotesis
Hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini yaitu bahwa :Ratifikasi atas beberapa perjanjian
internasional di bidang lingkungan laut oleh Pemerintah Indonesia akan
ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.Perjanjian Internasional yang Telah
Diratifikasi dan Alasan-alasannya
Pemerintah Indonesia
telah aktif dalam berbagai perundingan di bidang kelautan sejak tahun 1958
khususnya dalam Konperensi Hukum Laut I. Dalam perundingan itu delegasi
Indonesia telah menandatangani hasil konperensi tersebut yaitu Konvensi
mengenai Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf),
Konvensi mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas(Convention
of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas),
serta Konvensi mengenai Laut Lepas (Convention on the High Sea).
Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial tidak ditandatangani. Tiga tahun
kemudian konvensi-konvensi ini telah diratifikasi melalui Undang-undang
No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958
mengenai Hukum Laut. Sehingga dari 4 konvensi hanya satu konvensi yang tidak
ditandatangani dan diratifikasi yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial. Hal
ini dikarenakan bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam Deklarasi
Juanda yang menyatakan wilayah lautan Indonesia dengan daratan merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Berbeda dengan Kringen Ordonantie 1933 yang
menyatakan masing-masing pulau memiliki laut teritorial dengan jarak 3 mil.
Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial 1958 membatasi jarak 12 mil dari
pantai namun bukan merupakan satu kesatuan dalam hal wilayah yang dimiliki
secara khusus seperti Deklarasi Juanda. Konvensi mengenai
Perikanan Serta Pelestarian Sumberdaya Hayati Laut Bebas terdiri
dari 22 pasal, Konvensi mengenai Landas Kontinen terdiri dari 15 pasal dan
Konvensi Laut Lepas terdiri dari 37 pasal. Ada beberapa pertimbangan untuk
meratifikasi ketiga Konvensi ini yang tercantum dalam Undang-undang No.
19/1961. Seperti kehadiran Pemerintah Indonesia dalam berbagai perundingan di
Konperensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 yang hal ini dinyatakan dengan tegas
dalam bagian a pertimbangan UU ini :“bahwa konperensi internasional di
Jenewa tahun 1958 mengenai hukum laut (Conference on the Law of the
Sea) dimana Republik Indonesia ikut serta hadir……” Dalam
penjelasan Undang-undang ini juga dinyatakan :“Konvensi-konvensi tersebut
telah ditandatangani oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konperensi
Jenewa tersebut.” Pertimbangan lain untuk meratifikasi ketiga konvensi
ini adalah :“Bahwa terhadap konvensi-konvensi sebagaimana dimaksud dalam sub
1 sudah sewajarnya Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi peserta.” Sedangkan
diratifikasinya ketiga konvensi ini melalui undang-undang dinyatakan
secara tegas dalam pertimbangan :“bahwa persetujuan mengenai ketiga konvensi
Jenewa mengenai Hukum Laut itu perlu diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya
dalam penjelasannya dinyatakan :“………..Indonesia mempunyai kepentingan
terhadap segala sesuatu yang mempunyai segi hukum laut. Menurut ketatanegaraan
kita, persetujuan atas ketiga konvensi termaksud berdasarkan pasal 11
Undang-undang Dasar, memerlukan persetujuan dengan undang-undang.” Berkaitan
dengan upaya kegiatan pelayaran di laut khususnya penetapan jalur pelayaran di
laut, pada tahun 1966 telah ditandatangani Konvensi Internasional mengenai
Jalur Pelayaran(International Convention on Load Lines 1966). Oleh
Pemerintah Indonesia konvensi ini telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden
No. 47/1976 tertanggal 2 November 1976. Konvensi ini merupakan hasil Conference
on Load Lines. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan
Presiden sebagai berikut :“bahwa pada tanggal 3 Maret sampai dengan tanggal
5 April 1966, atas prakarsa Intergovernmental Maritime Consultative
Organization, di London telah diselenggarakanInternational Conference on
Load Lines yang menghasilkan “International Convention on Load Lines,
1966.”
Indonesia sebagai
salah satu anggota Intergovernmental Maritime Consultative Organization (Sekarang
: IMO) tidak keberatan untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi ini.
Ratifikasi atas konvensi ini juga memperhatikan Konvensi Mengenai Keselamatan
di Laut (Convention for the Safety Life at the Sea/SOLAS) 1960 yang
telah diratifikasi. Hal ini dinyatakan dalam Keputusan Presiden sebagai berikut
:
“Memperhatikan : 2.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 1966.”
Pada tahun 1974,
Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut atau dikenal dengan SOLAS
Convention 1960 diperbaharui dan diganti. Delegasi Indonesia dalam
proses perundingan konvensi ini hadir dan turut menandatangani SOLAS
Convention 1974. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Keputusan Presiden
No. 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention for the
Safety of Life at Sea,1974 :
“ bahwa sebagai
pengganti International Convention for the Safety of Life at Sea, 1960,
konperensi internasional tentang keselamatan jiwa di laut 1974 telah
menghasilkan International Convention for the Safety of
Life at Sea 1974, yang telah ditandatangani oleh delegasi pemerintah
Republik Indonesia di London pada tanggal 1 November 1974.”
Seperti telah
dinyatakan dalam pasal 25 Konvensi Laut Lepas 1958 yang menyatakan semua negara
diminta untuk bekerjasama dalam mengambil tindakan terhadap pencemaran di laut,
maka pada tanggal 29 November tahun 1969 di kota Brusel negara-negara IMO telah
menandatangani suatu konvensi internasional. Konvensi ini bernama Konvensi
Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di
Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage). Delegasi Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi
ini seperti tercantum dalam ratifikasi atas konvensi ini yaitu melalui
Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 yang menyatakan :
“Membaca : a. bahwa
sebagai hasil sidang International Legal Conference on Marine Polution
Damage, di Brusel pada tanggal 29 November 1969, delegasi Pemerintah
Republik Indonesia telah menandatangani International Convention on
Civil Liability for Oil Pollution Damage.”
Konvensi ini terdiri
dari 21 pasal dan bertujuan untuk menjamin ganti rugi yang sesuai untuk
seseorang yang menderita akibat pencemaran minyak di laut. Selain itu
negara-negara harus bertanggungjawab terhadap pencemaran di laut yang
dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut :
“bahwa konvensi
tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang pertanggungjawaban antar negara
peserta konvensi atas pengotoran laut oleh minyak.”
Mengingat Indonesia
sebagai negara kepulauan dan memiliki laut yang luas, maka kebutuhan akan suatu
ketentuan hukum internasional mengenai pencemaran di laut menjadi sangat
penting. Apalagi letak yang strategis yaitu di antara 2 benua dan 2 samudera
serta banyak dilalui kapal-kapal dari negara-negara lain. Kebutuhan untuk
meratifikasi konvensi ini menjadi semakin penting ketika kasus pencemaran minyak
oleh kapal tanker “Showa Maru” yang mengakibatkan Indonesia
menjadi salah satu negara korban pencemaran. Sehingga hal ini menjadi
pertimbangan penting untuk melindungi perairan Indonesia seperti dinyatakan
dalam Keppres sebagai berikut :
“bahwa untuk mencegah
pengotoran laut yang disebabkan oleh minyak di sepanjang perairan Indonesia,
Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi
tersebut pada huruf a di atas.”
Dua tahun kemudian
pada tanggal 18 Desember 1971 negara-negara IMCO kembali mengadakan pertemuan
di Brussels yang hasilnya menandatangani International Convention on
the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution
Damage. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang PengesahanInternational
Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for
Oil Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini dinyatakan :
“bahwa konvensi
tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada
pemilik kapal yang menimbulkan pengotoran atau pencemaran di
sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal.”
Meningkatnya kegiatan
perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapal-kapal tanker
telah menimbulkan berbagai permasalahan baru. Seperti terjadinya pencemaran
minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang melewati
perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan atas
diratifikasinya konvensi tersebut yang dinyatakan :
“bahwa karena
lalulintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat
yang mungkin dapat menimbulkan pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal
tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan
konvensi tersebut pada huruf a di atas;”
Namun demikian pada
tanggal 10 Maret 1998 ratifikasi konvensi ini dicabut oleh Pemerintah Indonesia
melalui Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan
Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian
Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam
salah satu bagian pertimbangan yang menyatakan :
“bahwa keanggotaan
Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a
telah dibebani kontribusi yang memberatkan Anggaran Negara. “
Dengan demikian alasan
pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the
Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah
alasan ekonomi.
Kapal-kapal tanker
maupun kapal-kapal lainnya dalam pengoperasiannya sering membuang “balast”
yang menyebabkan terjadinya pencemaran di perairan. Karena itu untuk mengatur
masalah pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal laut maka pada
tahun 1973 di kota London telah ditandatangani Konvensi Internasional Mengenai
Pencegahan Pencemaran yang Berasal dari Kapal(International Convention for
the Prevention of Pollution from Ships). Lima tahun kemudian yaitu
pada tanggal 17 Februari 1978 disetujui sebuah protokol dari konvensi ini
yaitu Protocol of 1978 Relating to the International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships. Konvensi dan protokol ini dikenal
dengan nama MARPOL 1973/1978, merupakan hasil Konperensi mengenai Pencemaran di
Laut dari kapal-kapal (International Conference on Marine Pollution
from Ships) dan Konperensi Internasional mengenai Keamanan Kapal
Tanker dan Pencegahan Pencemaran (International Conference on
Tanker Safety and Pollution Prevention). Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi konvensi ini dan protokolnya melalui Keputusan Presiden No. 46
Tahun 1986 tertanggal 9 September 1986 tentang Pengesahan International
Convention for the Prevention Pollution from Ships, 1973,
beserta, Protocol of 1978 Relating to the International Convention for
The Prevention of Pollution from Ships, 1973. Bagi Pemerintah
Indonesia ratifikasi ini menjadi sangat penting karena merupakan upaya mencegah
pencemaran di perairan Indonesia dan melindungi lingkungan laut di
wilayah teritorial maupun di Zone Ekonomi Eksklusif. Hal ini dinyatakan dalam
pertimbangan Keputusan Presiden di bawah ini :
“bahwa untuk
menjaga kelestarian lingkungan laut dari bahaya pencemaran yang berasal
dari pengoperasian kapal-kapal. Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu
untuk ikut serta menjadi pihak di dalam konvensi beserta protokol tersebut.”
Berkaitan dengan
perkembangan hukum laut internasional, Pemerintah Indonesia kembali turut serta
dalam berbagai perundingan mengenai dibentuknya suatu konvensi hukum laut
internasional. Hingga pada akhirnya tanggal 10 Desember 1982 telah
ditandatangani Konvensi PBB mengenai Hukum Laut(United Nations Convention on
the Law of the Sea) atau yang disebut UNCLOS 1982. Konvensi ini pada
tanggal 16 November 1994 telah memenuhi syarat ratifikasi (minimal 60 negara
meratifikasi) sehingga dapat diberlakukan. Dari mulai ditandatangani konvensi
ini hingga mencapai tahap diberlakukannya konvensi ini telah memakan jangka
waktu yang cukup lama yaitu hampir 12 tahun. Hal ini disebabkan banyak konsep
baru diatur di dalam konvensi ini seperti konsep negara kepulauan, perlindungan
lingkungan laut, pembentukan Mahkamah Dasar Laut, Pembentukan Otorita Dasar
Laut dll. Konvensi ini terdiri dari Pembukaan, 17 Bab, 320 Pasal, dan 9
Lampiran. Isi konvensi tersebut terdiri dari bab-bab yang mengatur
masalah laut territorial dan zona tambahan, kemudian selat yang digunakan untuk
pelayaran Internasional, serta mengenai negara kepulauan. Ada bab-bab lain yang
mengatur Zona Ekonomi Eksklusif, landas Kontinen, laut lepas, dan masalah Rezim
Pulau. Selain itu, konvensi mengatur mengenai laut teritorial atau setengah
tertutup, hak negara tak berpantai untuk masuk ke dalam dan ke luar laut, serta
masalah kebebasan melakukan transit. Adapula bab-bab yang mengatur
masalah kawasan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Riset Ilmiah
Kelautan, Pengembangan dan Alih Teknologi Kelautan, serta mengenai
Penyelesaian Sengketa.
Pemerintah Indonesia
telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985
tertanggal 31 Desember 1985. Berkaitan dengan peningkatan kerjasama
internasional khususnya kerjasama selatan-selatan di bidang kelautan, maka pada
tanggal 7 September 1990 di kota Arusha,Tanzania telah dibentuk suatu
Organisasi Hubungan Kerjasama Lautan Hindia melalui suatu persetujuan yang
dinamakan Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affair
Cooperation (IOMAC). Melalui Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1993
tertanggal 16 September 1993 persetujuan pembentukan organisasi ini telah
diratifikasi. Ratifikasi atas persetujuan ini tercantum dalam pertimbangannya
yang menyatakan :
“bahwa di Arusha,
Tanzania pada tanggal 7 September 1990 Delegasi Republik Indonesia telah
menandatangani Agreement on the Organization for Indian Ocean
Marine Affairs Cooperation(IOMAC) yang mengatur kerjasama masalah kelautan
di Samudera Hindia.”
Beberapa konvensi
lainnya yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia di bidang kelautan adalahInternational
Convention for Safe Containers melalui Keputusan Presiden No. 33 Tahun
1989 tertanggal 17 Juli 1989, International Convention for Standard of
Training, Certification and Watch Keeping for Seaferers 1978 melalui
Keputusan Presiden No 60 Tahun 1986 tertanggal 4 Desember 1986, Convention
on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1960 yang
diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 107 tahun 1968. Konvensi ini
kemudian diganti denganConvention on the International Regulation for
Preventing Collisions at Sea 1972 yang diratifikasi
melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1979 tertanggal 11 Oktober 1979. Di
Tabel 1 ditunjukkan data perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang
telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
Ratifikasi
Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Laut
NO
|
NAMA
PERJANJIAN INTERNASIONAL
|
RATIFIKASI
|
MASALAH YANG
DIATUR
|
1.
|
Convention on the
Continental Shelf 1958, Convention on Fishing and Conservation of the Living
Resources of the High Seas 1958, Convention on the High Seas 1958
|
Undang-undang
No. 19 /19616 September 1961
|
Pengaturan Landas
Kontinen, Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Laut Lepas dan Konvensi
Laut Lepas
|
2.
|
Convention on the
International Regulation for Preventing Collision at Sea 1960
|
KEPPRES No.
107/1968D I C A B U T
|
Pengaturan mengenai
pencegahan kecelaka-an/tubrukan kapal di laut.
|
3.
|
International
Convention on Load Lines 1966
|
KEPPRES No. 47/19762
November 1976
|
Pengaturan Mengenai
Jalur Pelayaran
|
4
|
International
Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969
|
KEPPRES No. 18/19781
Juli 1978
|
Tanggungjawab
Perdata Terhadap Pencemaran Di Laut
|
5.
|
International
Convention on the Esta-bilishement of an International Fund for Compensation
for Oil Pollution Damage 1971
|
KEPPRES No. 19/19781
Juli 1978D I C A B U TKEPPRES No. 41/1998
|
Pengaturan Mengenai
Pembentukan Dana In-ternasional untuk Ganti Rugi Pencemaran Mi-nyak di Laut
|
6
|
Convetion on the
International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1972
|
KEPPRES No.
50/197911 Oktober 1979
|
Penyempurnaan
Conven-tion 1960 tentang pencegahan tubrukan kapal di laut
|
7.
|
International
Convention for Safe Containers 1972
|
KEPPRES No. 33/198917
Juli 1989
|
Pengaturan Mengenai
Keselamatan dan Serti-fikasi Peti Kemas
|
8.
|
International
Convention for the Prevention of Pollution by Ships 1973, Protocol Relating
to the Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1978.
|
KEPPRES No. 46/19869
September 1986
|
Pengaturan Mengenai
Pencegahan Pencemar-an Yang Berasal Dari Kapal-kapal.
|
9.
|
International
Convention for the Safety of Life at Sea 1974
|
KEPPRES No. 65/19809
Desember 1980
|
Pengaturan Mengenai
Keselamatan di Laut
|
10.
|
Protocol of 1978 Relating
to the International Convention for the Safety of Life at Sea 1974
|
KEPPRES No.
21/198829 Juni 1988
|
Protokol Mengenai
Ke-selamatan di Laut.
|
11.
|
International
Convention on Standards of Training, Certification & Watch Keeping for
Seafarers, 1978
|
KEPPRES No. 60/19864
Desember 1986
|
Pengaturan Mengenai
Standard Pelatihan, Sertifikasi dan Penga-matan Bagi Pelaut
|
12
|
International
Convention on Standards of Training, Certification & Watch Keeping for
Seafarers, 1978
|
KEPPRES No. 60/19864
Desember 1986
|
Pengaturan Mengenai
Standard Pelatihan, Sertifikasi dan Penga-matan Bagi Pelaut
|
13.
|
United Nations
Convention on Law Of The Sea (UNCLOS) 1982
|
Undang-undang
No. 17/198531 Desember 1985
|
Pengaturan Mengenai
Masalah Kelautan
|
14
|
Agreement on the
Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC) 1990
|
KEPPRES No.
86/199316 September 1993
|
Pengaturan mengenai
kerjasama kelautan di Samudera Hindia
|
SUMBER
: Pramudianto, A. 1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang
Lingkungan Hidup (Belum diterbitkan)
2.Implementasi Perjanjian Internasional oleh
Pemerintah Indonesia
Implementasi secara
sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian
internasional melalui suatu peraturan hukum nasional dengan ketentuan yang
bersifat lebih lanjut. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi
kemudian menjadi hukum nasional belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan.
Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya sesuai dengan
pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Implementasi suatu
perjanjian internasional menjadi sangat penting dan diperlukan untuk dapat
memberikan masukan baru sehingga dapat menambah wawasan bagi perkembangan hukum
nasional. Kadang-kadang ada peraturan-peraturan yang belum diatur dalam hukum
nasional, maka perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut
diharapkan dapat menambah kekurangan yang ada di dalam sistem hukum nasional.
Sebagai contoh adalah ketentuan mengenai sertifikasi internasional, pencegahan
pencemaran lintas batas dan mekanisme penelusuran informasi belum diatur dalam
sistem hukum nasional.
Selain itu dalam
hubungan internasional Indonesia akan berperan lebih besar lagi dengan
keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan penting yang berkaitan dengan
perjanjian internasional tersebut, seperti dalam penyusunan peraturan-peraturan
perjanjian internasional dalam bentuk protocol, annex, maupunamandement.
Tindakan meratifikasi suatu perjanjian internasional bagi Indonesia dapat
meningkatkan kerjasama internasional dan hubungan yang luas. Selain itu bantuan
luar negeri baik yang berupa pendanaan maupun alih teknologi serta bantuan
ilmiah seperti yang telah tercantum dalam suatu perjanjian internasional dapat
memberikan keuntungan untuk meningkatkan dan mendorong pembangunan nasional.
Ratifikasi atas suatu
perjanjian internasional harus diimplementasikan melalui ketentuan-ketentuan
yang bersifat tindaklanjut atas perjanjian internasional tersebut. Selama ini
ada beberapa peraturan mengenai tindak lanjut atas perjanjian internasional yang
telah dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Dibawah ini akan diberikan beberapa
contoh ketentuan perundang-undangan nasional yang merupakan tindak lanjut dari
suatu perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi dengan
menyebutkan secara tegas adanya ratifikasi tersebut.
3.
Undang-undang
No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-undang ini
merupakan pengganti Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Undang-undang tersebut terdiri atas 7 bab dan 27 pasal yang mengatur
hal-hal mengenai: wilayah perairan Indonesia, hak lintas bagi kapal-kapal
asing, pemanfaatan-pengelolaan-perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan
Indonesia, serta penegakan hukum di perairan Indonesia. Undang-undang ini
merupakan penyesuaian atas diratifikasinya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut
1982 khususnya pada Bab IV konvensi tersebut. Penyesuaian undang-undang ini
atas konvensi tersebut dinyatakan pada bagian menimbang huruf c yang menyatakan
:
“ bahwa pengaturan hukum
negara kepulauan yang ditetapkan dalam undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim
hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi tersebut pada
huruf b.”
Dasar hukum undang-undang ini juga menyebutkan
ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. Dalam bagian mengingat
dinyatakan pasal 5 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Undang-undang
No. 17/1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea 1982.
4.Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Ekploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas
Pantai.
Peraturan Pemerintah
ini terdiri dari 65 pasal dan 12 bab. Bab-bab ini diantaranya mengatur
masalah instalasi pertambangan, pipa penyaluran, penyelidikan geologis dan
geofisik, penyelidikan dasar, penggunaan bahan peledak. Peraturan pemerintah
ini juga menata mengenai usaha pemanfaatan seperti: pemboran eksplorasi,
pemboran pengembangan dan pemboran penilaian, kemudian produksi, penimbunan,
pemuatan dan konservasi. Mengenai masalah jurisdiksi, mengatur mengenai daerah
perbatasan, wewenang penyidikan, dan ketentuan pidana.
Peraturan pemerintah
ini merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu
Konvensi Mengenai Laut Lepas, Konvensi Mengenai Landas Kontinen dan Konvensi
Mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas melalui persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat yang produk hukumnya berupa undang-undang. Dalam
peraturan pemerintah ini secara tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang
tercantum sebagai berikut :
“ Mengingat
: 6. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi
Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1961 Nomor 276, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318).”
5.Keputusan
Menteri Perhubungan No. KM 167/HM.207/PHB-86 tertanggal 27 Oktober 1986 tentang
Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat
Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun.
Keputusan Menteri
perhubungan ini dikeluarkan dalam upaya melindungi lingkungan laut. Selain itu
juga dinyatakan secara tegas bahwa Pemerintah Indonesia turut meratifikasi
Konvensi Internasional Tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1978 dan
Protokol 1978. Hal ini dinyatakan dalam bagian pertimbangan keputusan
yang menyatakan :
Menimbang : a. bahwa
dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan laut dengan Keputusan Presiden No.
46 Tahun 1986, pada tanggal 9 September 1986, Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal
1978 dan Protokol 1978 konvensi tersebut (International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto).”
Keputusan menteri ini
juga merupakan tindak lanjut atas diratifikasinya konvensi
tersebut beserta
protokolnya seperti dinyatakan dalam bagian pertimbangannya :
“b. bahwa sebagai
tindaklanjut dari pengesahan Konvensi tersebut dipandang perlu menetapkan
peraturan tentang Sertifikat Internasional Pencegahan pencemaran oleh Minyak
dan Sertifikat Internasional Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun bagi Setiap
Kapal yang Memasuki atau Berada di Pelabuhan atau Terminal Lepas Pantai
Indonesia.”
6.Keputusan
Menteri Perhubungan No. KM 215/AL.506/PHB-87 tertanggal 19 September 1987
tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal.
Keputusan Menteri
Perhubungan ini juga merupakan upaya melindungi kelestarian lingkungan laut dan
sebagai tindak lanjut atas diratifikasinya International Convention for
the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating
thereto. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangannya:
“ b. bahwa sebagai
tindak lanjut dari pengesahan atas Konvensi tersebut, perlu menetapkan
peraturan tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal.”
Dalam bagian mengingat
juga ditegaskan adanya ratifikasi atas konvensi ini seperti dinyatakan:
“ Mengingat : 4.
Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 (BN. No. 4437 hal 88) tentang Pengesahan
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and
the Protocol of 1978 Relating to International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships, 1973”
7.Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-45/MENLH/11/1996 tertanggal 19 Nopember
1996 tentang Program Pantai Lestari.
Keputusan Menteri
Negara LH ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan
lingkungan di wilayah pantai. Keputusan ini juga berkaitan dengan tindak lanjut
ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pencegahan Pencemaran yang Berasal
dari Kapal (International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships 1973 and Their Protocol) yang menyatakan :
“ Mengingat : 7.
Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 beserta
protokol.”
Masih banyak peraturan
pelaksanaan lainnya yang merupakan tindak lanjut ratifikasi atas
perjanjian internasional di bidang lingkungan laut. Dari hasil studi ini hampir
semua perjanjian internasional bidang lingkungan laut telah dilaksanakan
melalui berbagai produk hukum yang dikeluarkan khususnya produk hukum yang
bersifat teknis.
8.Kesimpulan
Pemerintah Indonesia
telah ikut terlibat dalam perundingan pembentukan beberapa perjanjian
internasional bidang lingkungan laut. Keterlibatan ini menimbulkan akibat
dengan ditandatanganinya perjanjian internasional tersebut. Penandatanganan
yang selanjutnya diratifikasi akan berpengaruh ke dalam hukum nasional. Sebagai
langkah berikutnya adalah tindak lanjut untuk melaksanakan perjanjian
internasional itu dengan mengeluarkan berbagai produk hukum nasional. Hal ini
telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya beberapa
peraturan yang menyangkut masalah pelaksanaan atas perjanjian internasional
tersebut. Berbagai produk hukum nasional telah dikeluarkan sebagai pelaksanaan
perjanjian internasional yang telah diratifikasi walaupun belum seluruhnya
terlaksana. Dengan demikian hal ini telah menjawab hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini bahwa beberapa perjanjian internasional bidang kelautan yang
telah ditandatangani dan diratifikasi ternyata telah ditindaklanjuti melalui
peraturan pelaksanaan dalam berbagai bentuk produk hukum nasional.
9.Saran
1.Untuk menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi ini perlu
disesuaikan dengan posisi Indonesia agar tidak menimbulkan pertentangan atau
konflik hukum.
2.Masih ada beberapa pasal dalam perjanjian internasional yang belum dilaksanakan. Hal ini perlu untuk kepentingan Indonesia khususnya yang menyangkut persoalan kerjasama internasional dan bantuan teknik.
2.Masih ada beberapa pasal dalam perjanjian internasional yang belum dilaksanakan. Hal ini perlu untuk kepentingan Indonesia khususnya yang menyangkut persoalan kerjasama internasional dan bantuan teknik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna.
1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian
Internasional, Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN
,Jakarta.
Agoes, Etty R.
1988. Masalah Sekitar Ratifikasi Dan Implementasi Konvensi Hukum Laut
1982 : Antara Teori dan Praktek, dalam Yoyon A (ed). Percikan Gagasan
Tentang Hukum, FH UNPAR, Bandung.
Anwar, H Agustiar.
1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian
Perjanjian-perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional No. 1
Tahun 1991 BPHN, Jakarta
Ball, Simon &
Stuart Bell. 1991. Environmental Law, Blackstone Press Limited,
London.
Danusaputro, Munadjat
St. 1982. Hukum Lingkungan, Buku IV: Global, Bina Cipta, Bandung.
Kantaatmadja, Mieke
Komar. 1991. Instrumen nasional untuk ratifikasi Perjanjian
Internasional- Suatu Studi Kasus, Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun
1991, BPHN, Jakarta.
Kusumaatmadja,
Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Pertama,
Bina Cipta, Bandung.
Kusumohamidjojo,
Budiono. 1986. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional, Binacipta, Bandung.
Likadja, Frans E.
1988. Desain Instruksional : Dasar Hukum Internasional, PT Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Parthiana, Wayan.
1990. Pengantar Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung.
Pramudianto, A.
1993. Hukum Lingkungan Internasional, (Unpublished)
Pramudianto, A.
1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Majalah
Hukum Pro Justititia Tahun XIII No. 4 Oktober 1995.
Situni, Wisnu.
1989. Reformulasi Sumber-sumber Hukum Internasional, CV Mandar
Maju, Bandung
Suraputra, Sidik D.
1991. Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Hukum Nasional
Indonesia, Majalah Hukum Nasional, No 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.
Suryono, Edy.
1984. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, CV
Remaja Karya, Bandung.